Kamis, 14 Januari 2010

Tradisi Mudik Lebaran Menurut Teori “interaksionisme simbolik”

Bagi sebagian besar penduduk yang merupakan perantau dari daerah, mudik adalah satu hal yang telah menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap tahun menjelang hari Raya. Tidak hanya warga Ibu kota saja yang melakukan ritual tahunan ini, tidak peduli di manapun mereka merantau pasti ujung-ujungnya akan kembali juga ke tempat /daerah asal tanah kelahiran atau tempat dimana orang tua dan sanak keluarga berkumpul.
Hal ini bisa dikatakan sebuah fenomena, ritus tahunan ini sudah mengakar di dalam masyarakat kita. Adanya keinginan berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara adalah pemicu utamanya. Berdasarkan data, jumlah pemudik tiap tahunnya selalu bertambah. Moda transportasi yang semakin murah dan nge-trend nya mudik menggunakan sepeda motor yang lebih hemat semakin menambah euforia mudik di saat menjelang hari raya.
Dengan kacamata soisiologi, fenomena mudik dilihat berdasarkan teori “interaksionisme simbolik” akan coba saya argumentasikan. Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa
  • manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka
  • makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”
  • makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung.
Bisa dikatakan mudik adalah collecitve mass action yang dilakukan oleh penduduk perantauan. Disebut kegiatan masal adalah karena ritual ini dilakukan secara besar-besaran, yang menjadi ingatan kolektif urban society di kota-kota tujuan urbanisasi (biasanya kota-kota besar berskala metropolitan), namun tidak menutup kemungkinan terjadi di mana saja, karena tujuan urbanisasi juga bisa di mana saja.
Interaksi sosial antar individu melengkapi pemaknaan mudik tahunan ini/ Keinginan untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara setelah satu tahun penuh bekerja mencari penghidupan yang lebih layak di tempat perantauan menimbulkan sebuah keinginan utnuk bertemu dan berinterkasi.
Kenangan akan suatu tempat atau kenangan interkasi akan masa lalu seseorang juga merupakan faktor pendorong yang cukup dominan. Memori masa lalu akan tempat kelahiran dan teman-teman sebaya yang tinggal bersama-sama sebelum merantau patut dijadikan kambing hitam melambungnya data statistik mudik tahunan.
Yang terakhir adalah proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. Makna Mudik bagi kaum urban adalah saling memaafkan pada saat moment lebaran. Hal itulah yang bisa dilihat dengan teori ini. Hubungan kota-desa adalah satu hal yang mendasari hal tersebut. Adanya keinginan untuk memaknai satu hari yang sangat penting bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dan hal itu telah terekam dalam memori kolektif masyarakat selama bertahun-tahun. jadi tradisi mudik ini sudah seperti sebuah rutinitas tahunan.
tapi bagaimana pun juga tradisi ini sudah menjadi tradisi kita, yang sulit dihilangkan...
trimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar